Bila nama Gênthawangi ataupun Tinggarwangi dan Pagentan(termasuk juga sebutan Glagahwangi, Sanggarwangi, Dépok Karangdhuwur) masih mempunyai makna bagi kita, menandakan sudah ada dasar yang baik untuk berbagi pendapat dan saran. Mari kita gunakan ruang ini untuk mengawali.
Semoga ruang ini dapat menjadi jembatan sambung rasa yang lêgawa dan bombong.

Rerasan panjenengan saged kaserat mawi cengkok Tegal, Pemalang, Cilacap, punapadene basa Indonesia lan têmbung manca ingkang klêbêt moncèr ing bêbrayan.
Mugi papan punika sagêd migunani tumrap jêmbaring kawruh ingkang linambaran raos pasêdhérèkan kanthi pamuji : samiya rahayu ingkang pinanggih. Nuwun.
Please, feel free to let us know your comment and idea. I left my heart in Tinggarwangi. Salam - Tu Ds.

Pages

Thursday, May 6, 2010

SANGGARWANGI (2)

Secara topografis, desa Tinggarwangi adalah dataran rendah yang terdiri atas sawah, ladang dan daerah ian. Sungai Tajum memba­tasi desa di bagi­an barat dan selatan desa yang relatif besar, bagaikan sabuk penyangga yang dapat ngêmbani kehidupan sosial dan eko­nomi desa. Terutama sampai dengan dekade 60-an. Bagian utara dan timur desa adalah daerah persa­wahan. Areal ladang tidak begitu luas, khu­sus­nya hanya berada di antara daerah hunian dan sungai Tajum. Jalan utama desa membelah dari barat laut ke arah timur, menjadi penghubung antar desa dan kecamatan, yang masih didukung jalan alternatif di kiri dan kanan jalan utama.

Selain jalan desa, transportasi ke desa lain juga ditunjang dengan dua tempat penyeberangan. Di bagian hulu lebih banyak sebagai jasa penyeberangan utama dan jalan pintas dari arah Purwojati ke Jatilawang. Sedangkan di bagian hilir untuk jasa penyebe­rangan warga desa Tinggarwangi ke Jatilawang sekaligus menjadi per­sing­gahan perahu pengangkut genteng yang merupakan produksi utama desa, ke daerah Cilacap serta Jawa Barat bagian timur dengan me­man­­faatkan DAS Citandui dan Donan.

SANGGARWANGI (1)

Ini bukan deskripsi anak masa kini. Tetapi ngudarasané seseorang yang pernah mengenyam hidup dan kehidupan di Tinggarwangi puluhan tahun yang lalu. Bagian dari naskah Sanggarwangi dalam buku Seri Éling Wong Tuwa 2. Dimuat dalam blog ini atas saran putra wayah Éyang Sudiwan Atmosumarto dan Sêrkini, dengan harapan bisa membangkitkan nuansa kultural dan batiniahnya. Tulisan ini, tidak menggunakan cara bahasa Indonesia yang baku, tetapi justru banyak memasukkan kosa kata dan "slank" percakapan gaya Tinggarwangi. Muga-muga kênaa nggo pêngéling-éling, cêkêlan waton. Sanggarwangi (1) adalah bagian pertama dari risalah ini. Bagian kedua dengan judul Tinggarwangi (2) termuat dalam blog yang sama.

Tinggarwangi mungkin bisa disebut dukuh atau sub desa. Dukuh Tinggarwangi dan Pagentan, digabung menjadi satu adminis­trasi desa dengan nama Desa Gentawangi. Tidak ada bukti tertulis, me­nga­pa diberi nama Tinggarwangi. Sêsêpuh yang saya kenal, pernah mengata­kan bahwa yang tepat adalah Sang­gar­wangi. Semen­tara bebe­rapa orang tua di Tinggarwangi mengata­kan Glagah­wangi. Gla­gahwangi, Tinggarwangi ataukah Sanggarwangi? Nama yang mana­pun, secara lokasi merujuk pada desa yang sama. Perbe­daan dapat terjadi karena konteks dan sudut pandang rasa pema­haman, sehing­ga dalam penulisan ini tidak perlu dijadikan polemik.